Kali ini saya membahas tentang Keris dalam dunia pewayangan hal ini memang sudah tidak dapat dipisahkan. Nah dari sumber yang saya dapat kali ini saya akan mencoba copas sebuah tulisan ( Ir. Haryono Haryoguritno ). Yang menurut saya sangat bagus menjadi bahan wawasan bagi kita. Dan bila Beliau membaca blog saya ini semoga dapat memberi kritik dan saran untuk lebih baik kedepannya.
Keris Dalam Dunia Pewayangan
Sulit untuk mengatakan, manakah yang lebih beruntung, dunia pewayangan karena keris, ataukah dunia perkerisan karena wayang. Yang jelas, kedua-duanya merupakan puncak kebudayaan nasional, dan tak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.
Sayang, kawruh padhuwungan tidak begitu populer bagi para dalang, sehingga janturan-janturan mereka mengenai pusaka/keris seringkali menjadi 'steril', dan lebih disayangkan lagi karena tidak adanya usaha para dalang untuk mencoba menambah pengetahuan dan wawasannya mengenai keris. Alangkah idealnya apabila aspek-aspek perkerisan dapat ditampilkan dalam pentas pewayangan, niscaya akan dapat menambah 'gebyar' atau 'dimensi' pentas itu sendiri.
Untuk mencoba menanggapi 'kekosongan' ini, maka tulisan yang tidak konklusif dan kadang-kadang terasa cengkah serta berasal dari berbagai sumber ini disajikan. Adapun mengenai bagaimana pengejawantahan kawruh padhuwungan dalam pentas wayang, hal ini sepenuhnya diserahkan kepada kearifan para dalang sendiri. Berikut ini dapat disebutkan beberapa petikan tentang hal tersebut, antara lain :
Dalarn sebuah pakem padhuwungon yang 'nota bene' merupakan karangan pujangga tersohor Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Surakarta (kira-kira 190 tahun yang Ialu), disebutkan bahwa :
Sri Paduka Maha Raja Dewo Budo, inggih punika Songhyang Gurunata (Girinatc) ingkong owit yaso dedamel warna-warni, ingkong kathahkathah mboten kacario saken, namun kopethik nalika yaso dhuwung wonten Ing Kayangan Kaendran dhapur Lar Ngotap, Posopati, scha dhapur Cundrik; ginambar ing angka 1, 2, 3; Ingkong dame/ noma Empu Romadi, kola tahun Jawi 142.
Ungkapan dalarn bahasa Jawa tersebut bagi pembaca masa kini tentu sulit untuk diterima sebagai fakta sejarah. Sebagai referensi dapat diingat tentang 'asal-usul' para tokoh Pandawa dan Korawa yang dimulai dari Nabi Adam, Nabi Sis, ….Bhatara Guru dan seterusnya, yang ditulis dalam Kitab Paramayoga/Pustaka Raja Purwa yang juga merupakan mahakarya pujangga Ranggawarsita. Selain itu, dalam dunia pewayangan kita juga mengenal pusaka Pasopati, yakni senjata Arjuna pemberian Bhatara Guru (cocok) yang berupa sebuah bedhor (panah) yang ber-dapur Wulan Tumanggal (tidak cocok).
Di dalam narasinya, Ki Dalang kadang-kadang menyebutkan (menurut lakonnya) sebagai berikut:
'dupi den unus curiganira, ponang pamor pusakaning Sang Dipati Ngawangga pating karetip pindha konang sayuta ...'
Yang dimaksud dengan pusaka tersebut adalah sebilah keris dhopur Jalak yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Jalak. Untuk menambah 'keotentikan' ungkapan tersebut, dianggaplah bahwa seolah-olah negeri Ngawangga itu memang benar benar ada dan terdapat di Pulau Jawa, persisnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (menurut Raffles, dalam bukunya : The History of Java). Sampai kini (menurut cerita orang), di dusun Wangga terdapat mesjid tempat dimana disimpan Kyai Jalak tersebut. Benar tidaknya hal ini, wallahualam bissawab. Dengan sebagai tambahan, Raffles juga menentukan tentang 'negeri-negeri' yang lain, misaInya :
- Kerajaan Dwarawati (Kresna) di daerah Pati
- Kerajaan Mandura (Baladewa) di Pulau Madura bagian barat
- Kerajaan Mandaraka (Salya) di antara Tegal & Pekalongan
- Banjarjungut (Dursasana) di sekitar Kebumen
- Talkandha (Bisma) di Banjarnegara
- Kahyangan Indrakila (Bhatara Indra) di Jepara
- Kerajaan Pringgandani (Gatotkaca) di seb. Utara Dat.Ting.Dieng
- Kerajaan Indraprastha (Pandhawa) di Dataran Tinggi Dieng.
- dan lain sebagainya.